(Catatan Kecil dipenghujung tahun 2018)

Manusia dan masa (waktu) adalah dua hal yang berbeda, namun eksis (ada) dalam ruang yang sama.

Ruang yang sama itu bernama ‘dunia’. Dunia adalah katalisator yang menghubungkan manusia dan waktu.

Di dunia, Manusia menemukan dirinya sebagai sesutu yang mewujud berdasarkan ke-apa-an yang ia kehendaki secara bebas.

Kebebasan itulah sebagai daya dorong (turbin), sehingga manusia dianggap ADA (eksis) sebagai sesuatu.

Dalam pembahasan Eksistensialisme (secara umum) yang menumpukan objek kajiannya pada manusia. Menganggap bahwa manusia eksis berdasar ke-apa-aan bukan ke-ada-aan nya.

Maka dalam hubungan manusia dan waktu, manusia terus bergerak untuk menjadi sesuatu sesuai fitrahnya. Tetapi seiring dengan kemenjadiannya, manusia semakin tidak mengenali waktu dan dunia.

Manusia larut dalam “pragmatisme” dalam menjalani hubungan segitiga tersebut; Manusia—Dunia—Waktu.

Kita tidak ingin terbuai dengan Eksistensialisme model seperti itu (pada umumnya). Dalam eksistensialisme kita, manusia mengenal waktu dan dunia dari eksistensi (ke-ber-Ada-aan)nya sebagai manusia.

Maka, untuk memulai hubungan itu. Manusia harus mengenali dirinya secara Epistemologis. Bahwa, hakikat dirinya (manusia) sebagai sesuatu yang ADA karena Kesadaraannya (pemahaman/makna/kreatif) yang bersumber dari Semesta alam yang membentuk pengetahuannya.

Dari itupula, manusia mengenali semesta alam alias Dunia. Dan dengan kesedaran pengetahuan itu juga manusia mengenali Waktu (refleksi).

Di tahun 2019, kita ingin mengenal hakikat keberadaan DIRI, DUNIA, dan WAKTU dengan segala laku aktivitas kita yang terus bergerak kearah yang subtasial.[]

Wallahu’alam bi Sawwab
Selamat Memasuki tahun 2019